Ukiran Islam Nusantara di Wayang Klithik
WARISAN BUDAYA: Puluhan karakter wayang klithik yang disimpan di Balai Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, Kudus. Wayang itu terbuat dari kayu pipih. |
ABADIKAN WARNA: Warga Desa Wonosoco secara rutin membubuhkan warna pada tubuh wayang agar terus terlihat baru. |
Warisan Sunan Kudus Bukan hanya menara dan masjid yang berada di depan Desa Kauman. Banyak pula warisan dalam bentuk budaya nonbenda. Salah satunya wayang klithik.
Senja sudah datang di Desa Wonosoco, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Tak beda dengan desa lain, keramaian desa itu langsung menghilang bersama dengan sinar matahari. Salah satu desa paling selatan Kudus itu berbatasan dengan Kabupaten Purwodadi. Perjalanan dari pusat kota Kudus di Desa Kauman ke desa itu memerlukan waktu hingga satu jam.
Namun, perjalanan tersebut memang harus ditempuh untuk melacak jejak salah satu warisan Sunan Kudus. Yakni wayang klithik. Di kota Kretek tersebut, Desa Wonosoco merupakan satu-satunya tempat pagelaran wayang dari kayu pipih itu.
Satu-satunya dalang wayang klithik Kudus, Sutikno, tinggal di desa tersebut. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan itu menjadi dalang generasi kedelapan setelah diwarisi mendiang ayahnya, Sumarla. Sayang, dia hanya diwarisi dua lakon, Damar Wulan dan Mbangun Sigit Swarga Bandhang.
Dua lakon itu memang satu-satunya ilmu yang tersisa dari berbagai lakon yang seharusnya bisa disajikan. Memang masih banyak kisah kerajaan Hindu-Buddha di Jawa yang diperankan dalam pagelaran wayang klithik. Namun, dua pakem itulah yang lestari. Semua itu disebabkan tradisi resik sendang.
Resik sendang adalah tradisi Desa Wonosoco yang dilakukan pada pertengahan tahun. Tepatnya pada Kamis Pon Jumat Kliwon. Pada kesempatan itu, warga harus membersihkan Sendang Dewot dan Sendang Gading sebagai wujud rasa syukur.
Dua lakon itu dipentaskan di tiap-tiap sendang. Damar Wulan disajikan di Sendang Dewot dan Mbangun Sigit Swarga Bandhang dipentaskan di Sendang Gading.
Anak kedua Sumarlan itu masih melihan adanya percik-percik ajaran Islam dalam lakon yang dipentaskannya tiap tahun tersebut. Misalnya lakon Mbangun Sigit Swarga Bandhang. Lakon tersebut mengisahkan adik utusan Damar Wulan yang disuruh membangun masjid di Kadipaten Sukodono.
Menurut versi Sutikno, wayang klithik di Kudus memang diawali Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan alias Sunan Kudus. Karena ingin meneraokan cara syiar yang mengena kepada masyarakat, Sunan Kudus menggunakan kesenian sebagai alat.
Dia pun bekerja sama dengan tokoh lain yang dikenal sebagai Kiai Telingsing untuk membuat wayang dari kayu. Kiai Telingsing memang dikenal sebagai tokoh yang pandai membuat ukiran. Kisah tersebut dikuatkan pakar sejarah Kudus Edy Supratno."Menurut catatan saya, Telingsing merupakan pendatang dari Yunnan, Tiongkok. Kiai yang juga punya nama asli Sun Gin An itu memang disebut ahli mengukir," ungkapnya.
Humas Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Denny Nurhakim menambahkan, Sunan Kudus yang masuk generasi akhir Wali Sanga memang memilih media seni dan budaya dalam melakukan ceramah agama. Karena itulah, wayang klithik sebagai salah satu alat syiarnya akhirnya menarik mayarakat untuk mendengarkan ceramahnya.
Selain wayang, Sunan Kudus juga mewariskan banyak kesenian lain yang mengandung nilai Islami. Misalnya tembang macapat maskumambang yang menekankan welas asih. Juga mijil yang menceritakan pedoman hidup."Semua itu dikemas dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat lokal," jelas dia. (M. Salsabyl Ad'n/c11/dos)
PELESTARIAN TRADISI: Sutikno, dalang wayang klithik yang secara rutin mementaskan lakon pada ritual resik sendhang. |
Sate Kerbau untuk Hormati Hindu
KULINER LARIS: Sunoto membakar sate kerbau. |
MEMANG sudah tidak ada lagi penganut Hindu yang tinggal disekitar Kauman atau pusat Kabupaten Kudus lainnya. Menurut Edy Supratno, mereka saat ini tinggal di pinggiran kabupaten. Namun, jejak tenggang rasa di Kudus masih bisa terasa hingga sekarang. Jejak itu menarik wisatawan yang penasaran dengan kuliner khas Kudus.
Sate Kerbau adalah salah satu makanan khas Kudus. Sebab, sesuai perintah Sunan Kudus, hewan yang disembelih untuk menggantikan sapi adalah kerbau."Bahkan, saat Idul Adha yang disembelih juga kerbau," ujar Humas Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus Denny Nurhakim. Sebab, sapi adalah binatang yang dihormati pemeluk Hindu.
Saat ini sate kerbau masih bisa dijumpai di pusat kota Kudus. Salah satunya Sate Kerbau Pak Min Djastro yang berada di Jalan KH Agus Salim. Dengan citra rasa manis khas Jawa Tengah sate berwarna hitam pekat itu dijual Rp.5000 per tusuk.
"Biasanya, kalau buka, sudah ada yang pesan duluan. Jadi, orang yang nekat datang ke sini kadang-kadang juga kehabisan satenya," ujar Sunoto, 42, anak Min Djastro yang bertugas berjualan saat malam hari.
Sunoto pun sadar benar bahwa sate kerbau adalah salah satu warisan yang harus dilestarikan di Kudus. Sebab, hal itulah yang akhirnya mengajarkan bagaimana bertoleransi kepada masyarakat. Dengan begitu, sebuah tatanan masyarakat yang damai bisa tercipta di sebuah kota. (bil/c11/dos)
TENGGANG RASA: Sate kerbau salah satu hidangan khas di Kudus. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar