Kamis, 20 Juli 2017

Sangiran, Situs Manusia Purba Warisan Dunia (2-Habis)

Hasil gambar untuk tetap jadi situs paling kaya
GAJAH PURBA: Museum Sangiran Klaster Ngebug punya ciri khas dengan temuan fosil gajah purba (stegodon).Fosil tersebut dipasang dalam museum, sedangkan di bagian depan museum dibangun patung stegodon berbelalai panjang.

Tetap Jadi Situs Paling Kaya

Trinil dan Ngandong boleh jadi yang pertama. Tapi, Sangiran tetaplah yang terkaya. Sampai hari ini, telah tercatat penemuan 40 ribu fragmen fosil. Mulai ikan laut, gajah purba, hingga manusia.
DALAM rentang usianya yang sudah cukup panjang, Sangiran memang menyimpan legenda-legenda yang berbau mistifikasi. Misalnya kisah Bandung Bandha Wangsa dalam buku Toto Marsono; Perintis Museum Manusia Purba Sangiran karya Suratmo.
Beberapa legenda menyebutnya sebagai Bandung Bandhawasa (baca; Bondowoso), yang kisahnya tak berhubungan dengan terjadinya Candi Prambanan dan kisah Rara Jonggrang. Atau memang ada hubungannya?Entah. Sebab, dalam kisah Rara Jonggran, diceritakan Bandung Bandhawasa mengalahkan Ratu Baka (baca: Boko)yang memang berwujud buta (raksasa).
Alkisah, Bandung Bandhawasa akhirnya mengamuk. Dia nyangir (mengasah) kuku pancanaka-nya di batu asah yang banyak ditemukan di daerah itu. Lalu, kalahlah para buta. Hingga kini, balung-balung buta (tulang-tulang raksasa) tersebut banyak ditemukan dikawasan yang akhirnya disebut sebagai Sangiran itu.
Suratmo, putra kelima Toto Marsono, menuturkan bahwa batu-batu asah tersebut memang sangat banyak. Kalau warga membenamkan cangkul ke tanah, pasti akan langsung terantuk batu-batu asah besar. Batu yang juga disebut ungkal atau wungkal itu dibilang sebagai yang berkualitas  terbaik oleh masyarakat Sragen, Karanganyar,Boyolali, dan sekitarnya.
Di kubah Sangiran, memang pernah hidup empat jenis manusia. Ada si raksasa, Meganthropus palaeojavanicus. Ada manusia Jawa, Pithecanthropus erectus. Juga si "orang Mojokerto", Pithencanthropus mojokertensis. Juga manusia solo, Pthencanthropus soloensis. Semuanya tergabung dalam jenis besar Homo erectus, manusia purba cerdas yang dipercaya sebagai transisi dari kera besar (hominid) menuju manusia modern (Homo sapiens). Dari temuan selain fosil, penduduk Sangiran purba juga terbukti maju. Alat-alat batu yang berupa kapak genggam, ujung tombak, hingga pisau pemotong daging sudah dibuat serta digunakan. Museum Klaster Ngebung menyimpan penjelasan lengkap tentang  teknologi batu itu. Koenigswald menyebut temuan alat-alat batu itu sebagai Sangiran flake industry.
Antropolog ragawi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Myrta Artaria menyatakan, sebelumnya daerah Sangiran sangat subur. Itu adalah salah satu sebab kuantitas penemuan di Sangiran sangat tinggi. Permukiman manusia bertahan lama dengan rentang revolosi samapai jutaan tahun. "Fauna dan manusia juga hidup berdampingan. Tanahnya sangat subur," katanya.
Namun, menurut alumnus Arizona State University tersebut, teori missing link yang dikemukakan Dubois sudah tidak relevan lagi. Garis evolusi manusia tidaklah lurus, melainkan lebih kompleks dan bercabang.
Penemuan terkini menunjukkan beberapa genus yang masa hidupnya sejajar, over lapping, dan beberapa yang lain segaris berurutan meski dengan bentuk, tempat, serta tipe adaptasi yang berbeda. "Jadi, missing link-nya banyak. Seperti puzzle. Setiap penemuan mengisi bagian kecil," tulisnya.
Dari seluruh balung buta yang ditemukan, gigi badak dianggap yang paling bertuah. Gigi itu -juga disebut siung warak- dipercaya mampu menghilangkan penyakit. Termasuk menyembuhkan bekas gigitan hewan beracun. Caranya, gigi itu ditempelkan kebekas luka, lalu jampi-jampi dibacakan."Racun akan diserap siung warak." tutur Sugeng, mantan Lurah Bukuran.
Karena itu, warga yang menemukannya cenderung menyembunyikan. Padahal. pihak museum mewajibkan seluruh temuan ditarik ke museum. "kalaupun mereka punya, pasti tidak mau mengaku," kata Sugeng.
Ada puluhan ribu fragmen tengkorak dan rahang bawah Sangiran 1 serta 2. Fragmen fosil manusia pertama itu mambawa berkah bagi koenigswald. Sayang, meskipun museum berdiri megah, lokasi penemuan pertama Homo erectus di Sangiran itu tidak diketahui banyak orang.
Turis biasa sangat mungkin tidak akan pernah tahu jika tak menemui Sarjono, carik Desa Bukuran. Rumahnya terletak di Dukuh Bapang, Bukuran. Beberapa ratus meter dari rumahnya, ada sebuah mata air yang bernama Banyu Panguripan. Mengalir dari balik bebatuan di pinggir Sungai Cemoro.
"Saya sudah usul untuk dibukinkan tugu. Jalannya juga mestinya diperbaiki," katanya sambil meniti pinggir Sungai Cemoro dengan hati-hati. Dia menuntun Jawa Pos menuju titik yang diyakini sebagai lokasi penemuan pertama Homo erectus Sangiran 2 pada 1936.
Diyakini, lokasi penemuan adalah tepi sungai itu. Hanya, pihak museum memang beranggapan bahwa lokasinya kini sudah terkikis dan berada di tengah-tengah aliran sungai."Dulu memang disekitar situ. Sekarang sudah jadi air," kata Sarjono sambil menunjuk cekungan di tepi sungai. Tepi sungai tersebut sepi. Jalannya juga harus lewat pmatang sawah. Tak ada bekas giliran atau apa pun. Tanpa Sarjon, mungkin tidak akan pernah ada yang tahu bahwa di situ pernah ditemukan salah satu warisa terpenting dunia.(Taufiqurrahman/c11/dos)

Hasil gambar untuk kekayaan situs yang dipamerkan di Sangiran
KEKAYAAN SITUS: Pengunjung mengamati fosil yang dipamerkan di Sangiran.
Hasil gambar untuk pembentuk peradaban warna mengambil air di Banyu Panguripan.
PEMBENTUK PERADABAN: Warna mengambil air di Banyu Panguripan. Kontur tanah di Sangiran sangat dekat dengan aliran sungai dan subur, menjadikannya pas sebagai tempat tinggal manusia sejak zaman prasejarah.
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar