Balung Buta dan Penyambung Rantai Evolusi
Krikilan ,akhir tahun 1930.Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald datang bersama rombongan tim peneliti geologi dan pertambangan. warga sangiran yang takjub akan mobil beroda empat hanya menonton dipinggir jalanan batu. Maksud kedatangan Koenigswald cuma satu. "Ya, man, cari balung buta yang banyak," ujarnya kepada warga.
SEJARAH manusia tidak datang dari langit. melainkan sangiran ,daerah tandus di barat laut seragen, Jawa Tengah. tersembunyi diantara ceruk sungai, lipatan lumpur sawah, dan ayunan cangkul para petani.
Area seluas 56 kilometer persegi itu menyumbangkan ratusan keping puzzle dari misteri asal usul manusia. ditempat itulah diyakini Pithecanthropus erectus, sang manungsa Jawa, hidup, makan, dan menelurkan generasi penghuni Jawadwipa.
Sangiran sebuah dukuh di Desa Krikilan, kecamatan kalijambe, Sragen, Jawa Tengah. juga nama dari sebuah kubah vulkanis yang terbentuk dari pergerakan tektonis jutaan tahun lalu pada era Miosen akhir (sekitar 11 juta tahun lalu), daerah itu adalah lautan dangkal. Pendangkalan terus terjadi hingga masa Pliosen.
Aktivitas tektonis selama jutaan tahun mengangkat lautan itu hingga berbalik menjadi daratan. sebuah kubah besar bernama dome of Sangiran terbentuk karena aktivitas gunung Lawu dan merapi. kemudian , pelapukan dan erosi menggerus tengah kubah. menyingkap kandungannya yang kaya akan keping arkeologi.
Sangiran dibentuk empat stratigrafi (lapisan tanah). yakni formasi kalibeng (Pliosen, 5 juta tahun), Pucangan (Pleistosen awal, 2,5 juta tahun), serta Kabuh dan Notopuro (Pleistosen tengah, 781 ribu tahun).
Tanah tegalan mendominasi sangiran. sebagian lain adalah sawah. tanamannya berupa deretan pohon jati, mahoni, dan sengon. ada pula mangga dan nangka.
Sungai cemoro, anak Benggawan Solo, dengan meliyuk mebela sangiran. Membentuk lembah dengan erosi dan sedimentasi yang konstan. masih banyak rumah penduduk yang berupa joglo dengan asap mengepul dipagi hari dari dapur-dapur (pawon) terdinding gedek.
Kisah Sarngiran dimulai saat dunia antropologi ragawi (paleoantreopology) diranda kegundahan. sebab, selepas migrasi kera-kera besar (hominid) di Afrika, tidak lagi ditemukan jejak bagaimana mereka tumbuh menjadi manusia modern. ataupun kapan mereka mulai menggunakan kayu dan batu.
Muncul pemikiran tentang sebuah mata rantai yang hilang (misinglink). Episod evolusi misterius yang sangat ingin ditemukan Marie Eugene Francois Thomas Dubois atau Eugene Dubois, seorang antropolog ragawi asal belanda.
Determinasi membawa dubois terbang menjauh dari Negeri Kincir Angin, meninggalkan karir akademik dan bergabung dengan tentara kolonial untuk menuju Hindia Belanda pada 1887. setelah lepas dari tugas militer, Dubois mulai menggali disekitar Sumatera, lalu pindah ke Sangiran pada 1891.
Karena tak menemukan apapun, Dubois menggali lagi dipinggir Bengawan Solo di Trinil, Ngawi. Bingo! Sekopnya menyenggol tempurung atas tengkorak (skullcap) dan tulang paha (femur) yang kemudian diyakini milik seorang Pithecanthropus erectus atau manusia-kera yang berdiri tegak. Dubois akhirnya menemukan mata rantai yang hilang itu. Genus antara kera dan manusia. meskipun nanti diketahui teori missing link tersebut terbukti lemah.
Mengikuti jejak Dubois, Von Koenigswald, juga seorang antropolog ragawi, datang dan menemui carik (sekretaris lurah) Krikilan saat itu, Toto Marsono. Si carik kemudian kelak menjadi lurah Krikilan. Toto tentu saja sudah lama meninggal. Kini ahli waris sejarah Sangiran adalah putra kelimanya, Suratmo. Saat ditemui wartawan koran ini 19 Februari lalu, dia tengah asyik memainkan organ tunggal didepan rumahnya.
"Rumah Mbah Toto dulu didekat sungai itu," katany kepada Jawa pos. Dari ruang tamu kediaman mantan pegawai Museum Manusia Purba Sangiran itu, cerita mengalir.
Jauh sebelum Dubois dan Koenigswald, sudah banyak warga Sangiran yang menemukan fosil. Mereka menyebutkan balung buta (baca: balung buto) alis tulang raksasa.
Sebutan yang wajar karena penemuan tengkorak dan belalai gajah purba sepanjang 2 meter bukan hal yang aneh. Bagi warga Sangiran, masih lebih aneh karena roda empat Koeningswald yang berjalan tanpa ditarik kuda.
Tentu saja warga tida tahu apa urgensi balung buta. Ada yang menjadikannya sebagai mainan anak-anak, hiasan dinding, dan pipa penyalur air sampai menancapkanya ditengah sawah sebagai penguat dinding pematang. Koeningswald tentu saja meringis saat melihatnya. " Dia menyayangkan perlakuan warga terhadap fosil," tutur Suratmo.
Sejak itu, Koeningswald tinggal di Sangiran. Tepatnya dirumah Toto Marsono. Melakukan survei dan penggalian serta mengidentifikasi fosil-fosil temuan warga.
Dulu warga akan sangat mudah menemukan fosil. Apalagi saat hujan turun dan lapisan tanah bergeser. Fosil nongol begitu saja tanpa warga repot menggali. Koeningswald memanfaatkan bantuan warga untuk meng-handle area kubah yang amat luas.
Warga yang berhasil menemukan fosil menyetor ke Koeningswald. Kemudian diberi imbalan. Kadang beberapa keping gulden, kadang barang kebutuhan sehari-hari. "Dulu dikasih tepung pohong (singkong, Red) sudah senang bukan maen ," kenang Suratmo.
Namun, hingga lima tahun kemudian, Sangiran hanya memberikan tulang-tukang hewan purba. Kubah itu seolah masih pelit untuk memberikan petunjuk lebih jauh tentang manusia jawa. Penemuan pertama fosil manusia purba oleh Koeningswald justru terjadi dilembah Bengawan Solo di Ngandong, Surakarta, pada 1931. Tepatnya berupa atap tengkorak.
Barulah pada 1936 Sangiran mulai mengungkap isi perutnya. Bersama warga, Koeningswald menemukan fragmen fosil yang berupa rahang bawah dan atap tengkorak ditepi sungai cemoro yang melintasi Dukuh Bapang, Desa Bukuran. Diberi kode spesimen Sangiran 1 dan 2. Setelah temuan itu Sangiran berhenti pelit. penemuan demi penemuan terus terjadi.
Sayang, keasyikan Koeningswald menggali terusik dengan meletusnya perang dunia II pada 1941. Dalam bayang-bayang invasi pasukan Jepang, Koeningswald segera mengamankan fodil-fosil temuannya meskipun terseok-seok, akhirnya dia berhasil membawa koleksi tersebut terbang ke Belanda.
Rumah Toto Marsono selamat dari mortir Jepang sampai akhir PD II. Masalahnya ribuan fosil yang menumpuk sehingga membuat rumah sesak. selepas kepergian Koeningswald, Toto memang melanjutkan pencarian fosil. Selain itu dia merelakan uangnya untuk menebus fosil-fosil yang ditemukan warga demi mencegah warisan purbakala tersebut berakhir menjadi ganjal pintu. "Apapun dikorbankan waktu itu. Sapi-kambing dijual buat beli tulang,"Kata Sugeng, mantan kepala desa Bukuran.
Atas inisiatis petinggi beberapa desa, fosil-fosil akhirnya diangkat ke Balai Desa Bukuran pada 1974. Balai desa berbentuk joglo itu adalah cikal bakal Museum Sangiran. Dalam merintis museum tersebut, Toto didampingi beberapa arkeolog tanah air seperti Sartono dan Teuku Jacob.Saat ini museum Sangiran sudah berdiri megah. Diresmikan pada 2011 dengan 3 ruang display utama. Pada 1996 Sangiran resmi mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia.(Taufiqurrahman/c11/dos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar