Saat Tulang Berdiam di Tambak
MENUJU TAMBAK: Kerangka-kerangka dibawa memakai peti untuk disemayamkan ke tugu bagian yang lebih tinggi dalam bangunan tambak (makam) khas Batak.
|
NUANSA cerah menyambangi Huta (Desa) Lumban Harambir di Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Matahari hangat. Kicau burung dan kokok ayam menghangatkan desa di sekitar kaki Bukit Barisan tersebut.
Wajar. Desa itu dikelilingi bambu dan pepohonan. Banyak ayam dan bambu.
Pagi yang merekah itu membuka kesibukan acara memongkal holi. Nama lainnya adalah panaekkon saring-saring (memindahkan tulang belulang ke atas tugu). Warga pun berkemas dan bersolek. Perempuan dewasa berkebaya dan bersarung songket, komplet dengan ulos (kain selendang tenun). Lelakinya berkemeja. Juga dilengkapi ulos.
Mereka lantas berkumpul di salah satu tenda yang sudah tersedia. Tanpa pemandu, masing-masing orang duduk sesuai posisi adatnya.
Dalam tradisi Batak, ada istilah dalihan natolu atau kedudukan dalam adat. Yang paling dihormati dan berada di posisi terdepan adalah hula-hula atau keluarga pihak istri. Lalu, ada dongan tubu (saudara satu marga) yang posisinya sejajar. Yang terakhir adalah boru (saudara) perempuan yang biasanya bertugas melayani.
Acara itu dipimpin Arifin Sidabutar, raja parhata (raja bicara adat), setelah selesai mengabsen. Rombongan berangkat ke tambak (makam) pukul 08.30.
Tambak itu mirip rumah. Bahannya semen, keramik, dan batu bata. Bentuk bangunannya pun bertingkat. Makin ke atas makin runcing. Bagian bawah digunakan untuk orang yang baru meninggal. Bagian atas, seteah lantai 2, disebut tugu.
Tambak itu juga dilengkapi pagar besi. Para pendatang bisa saja keliru menyangkannya sebagai rumah. Apalagi, tak jarang, makam tersebut jauh lebih bagus ketimbang rumah yang terbuat dari kayu.
Biasanya, tambak tersebut berada di dekat rumah. Sebab, orang Batak sangat menghormati dan ingin selalu dekat dengan leluhurnya.
Tiba di tambak, pembongkaran dimulai dengan cara ibadat yang dipimpin perwakilan gereja. Setelah mengetuk pintu tambak tiga kali, perwakilan gereja mengingatkan bahwa pemindahan tersebut harus dilakukan dengan maksud yang benar dan sesuai dengan ajaran Tuhan. Setelah itu, baru diserahkan kembali ke raja parhata.
Sebelum melanjutkannya, raja parhata terlebih dahulu menanyakan prosesi yang diinginkan hula-hula. Setelah mendapatkan arahan, hula-hula tertua almarhum kembali mengetuk pintu tambak sekali. Lalu, tukang yang disewa langsung mengambil alih pembongkaran pintu batu tersebut.
Ketika pintu terbuka, beberap peti menyambut. Jumlahnya enam buah. Dua diantaranya sudah tidak berbentuk. Sudah uzur. Di dalamnya, ada leluhur atau almarhum tertua: Oppung Budi Sidabutar.
Para perwakilan keluarga almarhum langsung masuk ke dalam. Lantaran di dalam tambak itu ada enam jenazah, keluarga mendiang pertama terlebih dahulu masuk untuk mengumpulkan tulang belulangnya ke ember hitam besar. Mereka memang masuk secara bergantian karena ruangan tambak sangat terbatas. Kira-kira 3x3 meter.
"Sattabi da oppung (permisi ya, Kakek)," bisik cucu tertua almarhum saat mengumpulkan tulang belulangnya ke dalam ember. Cara mengumpulkannya tidak sulit. Sebab, mendiang tidak dikuburkan di dalam tanah. Tulang belulangnya masih terletak di atas pakaian dan ulos. Sang cucu hanya perlu mengumpulkan ulos dan pakaian dengan perlahan-lahan.
"Manat buat anggia, unang adongan tinggal da (Hati-hati ambilnya dek, jangan sampai ada yang tertinggal)," ujar cucu lainnya yang ikut masuk. Setelah terkumpul semua, ember yang berisi tulang belulang dibawa ke luar.
Boru (anak perempuan almarhum) langsung mengambilnya untuk dibersihkan. Saat ember berisi tulang belulang keluar, suasana pecah. Para eluarga menangis. Mereka menjalankan prosesi pembersihan sambil terisak.
Proses itu dilakukan dalam tiga tahap. Pertama adalah pembersihan dengan air. Kedua dengan pangir (jeruk purut), dan ketiga dengan air kunyit. Menurut kepercayaan orang Batak, jeruk purut tersebut layaknya bedak.
"Selain mengawetkan, kami memercayai prosesi pembersihan ini juga memandikan orang tua kami," kata Geleng Sidabutar, salah seorang anak laki-laki tertua almarhum. Saat membersihkan, kondisi tengkorak yang berusia sekitar 16 tahun itu masih utuh. Semua tulang belulangnya lengkap, bahkan giginya masih ada.
Setelah dibersihkan dan dikeringkan, tulang belulang yang sudah bersih tersebut disusun ke dalam peti. Sebelum dibawa ke atas (tugu), peti terlebih dahulu diulosi oleh hula-hula. Setelah itu, baru di-hutti parumaen (dibawa di kepala menantu perempuan) almarhum ke atas tugu.
Perwakilan keluarga sudah siap untuk menerimanya di atas. Saat diterima, anak almarhum yang posisinya di belakang menantu yang meng-hutti langsung mengambil ulosnya dengan perlahan. Jadi, yang dimasukkan dalam tugu itu hanya peti yang berisi tulang belulang.
Saat itu, jarum jam menunjukkan pukul 11.30."panaekkon saring-saring ingkon pas dohot parnakkok ni mataniari, hita pahissa da (menaikkan tulang belulang harus bertepatan dengan posisi matahari di atas kepala , cepat-cepat kita lakukan)," tambah Raja Parhata Arifin Sidabutar.
Tradisi mangongkal holi memang masih berlangsung hingga kini di Samosir. Namun, tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi itu mulai berjalan. Orang Batak di Samosir meyakini, lewat mangongkal holi, orang tua mereka mendapat penghormatan. Selain itu, mereka meyakini keturunan leluhur yang sudah meninggal itu bisa mendapat berkat melimpah dan panjang umur.
"Nunga dibahen hamu, saring-saring ni ibotonami tu tambak natimbo, tu batu na pir. Sai lam tamba ma di hamu pasu-pasu, tamba parsulian, ima tutu (Sudah kalian buat tulang belulang saudara kami ini ke tugu yang tinggi, ke batu yang kukuh. Semoga tambah juga berkat, tambah rezeki. Amin)," seru hula-hula tertua almarhum.(Masria Pane/c6/dos)
TRADISI BERBAGI: Raha Parhata (berkopiah) membagikan jambar atau daging-daging hewan sembelihan yang ada di dalam prosesi mangongkal holi. |
TURUN TANGAN: Parboru menyiapkan makanan sebelum diantar kepada hula-hula, pihak yang paling dihormati. |
Proses Adat yang Kian Modern
DAHULU setiap ada yang marulaon (berpesta), dongan sahuta (warga sekampung) bekerja untuk menyiapkan makanan. Sekarang semuanya serbapesan (katering). Meski begitu, perilaku gotong royong itu masih terus berjalan.
Buktinya, saat makan, meski katering, para boru (bagian anak perempuan) ikut bergegas melayani hula-hula-Nya. Caranya, mereka langsung menyusun informasi satu barisan ke arah tenda, tempat hula-hula duduk. Jadi, piring yang sudah berisi makanan tinggal digeser dari tangan parboru ke parboru lainnya. Dengan cara itu, para hula-hula yang kelaparan cepat terlayani makan.
Masuknya agama juga memengaruhi adat istiadat di sana. Untuk acara panaekkon saring-saring Oppung Budi Boru dan Oppung Budi Baoa (para pendiang) pada Selasa (27/6) itu, keluarga memilih tidak menggunakan gondang (alat musik Batak). Keyboard yang sudah sempat disewa pun tidak digunakan.
"Tadi pangula huria (petugas gereja) mempertanyakan penggunaan musik dalam acara ini. Katanya, tidak usah lagi pakai gondang atau musik," terang Geleng Sidabutar, salah seorang anak Oppung Budi.
Geleng mengakui, susunan acara panaekkon saring-saring orang tuanya itu sudah terlebih dahulu dirundingkan dengan keluarga maupun raja paharata. Meski begitu, ada kalanya terjadi perubahan jika ada perdebatan. Nah, berhubungan gereja mempertanyakan, dia dan keluarga memutuskan untuk tidak menggunakan musik tersebut. Dia juga tidak masalah jika musik itu tidak digunakan meski harganya cukup mahal.
"Yang penting, lancar acara ini. Saring-saring ni natua nami on nunga naek hu tugu (tulang belulang orang tua kami sudah naik ke atas tugu )," terangnya.
Meski tidak ada musik, geleng dan raja parhata tetap melanjutkan adat Batak dari acara panaekkon saring-saring tersebut. Pembagian jambar (bagian tubuh dari hewan yang disembelih) dan mangulosi (pemberian ulos) tetap dilakukan. Raja parhata memandu dua kegiatan tersebut.
Sebelum memberikan jambar, raja parhata mewakili keluarga yang berpesta kerap kali memberikan umpasa (pantun Batak). Demekian juga, saat hula-hula memberikan umpasa, raja parhata membalasanya.
"Setitik ma sigompa golang-golang pangarahutna, molo tung songoni pe naboi tarpasahat hami tu hamuna, salahutna pinompar ni amang boru nami, sai godang ma pinasuna (Meski begitu, yang bisa kami sampaikan kepada kalian semua keturunan paman kami, semoga banyaklah berkatnya)," kata hula-hula.
Raja parhata langsung menjawab dengan kalimat ima tutu (Amin).(rya/c6/dos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar